20/04/2024
Imtak

Paling Beruntung, Paling Tidak Menyesal

Spread the love

Siapa mereka?

Siapa yang paling beruntung itu, seorang laki-laki buruk rupa yang mendapatkan perempuan paling cantik di dunia? Dan sebaliknya?

Atau seorang miskin yang tiba-tiba dapat undian berhadiah 1 Trilyun?

Atau seorang yang hanyut di tengah derasnya banjir, tiba-tiba mendapat tali yang membawanya kembali ke darat?

Dan banyak keberuntungan-keberuntungan lain yang sungguh menggetarkan kalbu.

Lantas siapa pula yang paling merugi, atau orang paling menyesal? Apakah seperti ketiga orang diatas? Yang ketiganya tidak jadi mendapatkan keberuntungan itu?

Umumnya, saat disebut kata untung, orang mengasosiasikan dengan ekonomi. Hari ini punya Rp. 10.000, dibelanjakan. Hasil belanjaan dijual, laku Rp. 12.000. Untung. Atau seperti 3 ilustrasi di atas. Artinya seseorang mendapatkan lebih dari ekspektasinya. Dengan modal sedikit, hasil banyak. Dengan melakukan minimal, mendapatkan maksimal.

Mari kita bayangkan. Saat tiba-tiba kita terbangun. Di alam kubur. Alam persinggahan, sebelum alam keabadian. Akhirat. Di mana, kita sudah tak bisa lagi kembali ke dunia, walau sesaat. Di saat, kita tak sempat lagi bertobat.

Ah, itu cerita basi. Kata orang atheis. Atau orang beragama yang kurang keimanan. Iman, artinya percaya. Artinya, mereka yang beragama, tapi kurang mempercayai bagian itu. Mereka percayanya bagian yang lain saja. Jadi imannya belang-belang. Yang karena atheis dan kurang keimanan itu, perilakunya semau hati. Baik buruk tak jadi soal, yang penting ekspresi kebutuhannya tersalurkan.

Alasannya sepele. Karena belum terbukti, gak masuk di akal, dan macam-macam alasan lain. Sampai di sini, iman memang perlu ada penguatnya juga. Kalau mereka menggunakan akal untuk alasannya. Sekarang mari kita pakai timbangan untung rugi, seperti judul tadi.

Misalkanlah, ternyata pada saatnya. Akhirat itu tidak ada. Apakah dengan begitu orang jahat menjadi beruntung? Karena dia tidak jadi masuk neraka? Dan orang baik rugi, karena tidak jadi masuk surga?

Saya rasa tidak juga. Kalau benar surga neraka tidak ada, palingan hitung untung ruginya kembali ke apa yang sudah terjadi di dunia. Dan bukan berarti orang jahat di dunia beruntung, hanya karena dia sudah puas melakukan apa pun.

Karena di dunia pun, mereka tidak sepenuhnya merasa bebas merdeka melakukan kejahatan. Bayang-bayang penjara, tentu mengurangi kesenangan mereka.

Justru, orang baik. Yang misalnya: secara kasat mata hidup seadanya, untuk makan saja dia susah dan banyak menghadapi cobaan. Tapi bisa jadi secara batin dia bahagia. Karena mengetahui esensi kebahagiaan itu apa, dan dengan bagaimana mencapainya.

Nah sekarang kita itung-itungan. Ternyata pada saatnya, memang akhirat itu ada. Dan pasti ada berdasar keterngan agama. Konsekuensinya pasti surga neraka ada. Abadi pula. Tentunya, yang baik masuk surga. Untungnya gak keitung. Di dunia hanya berapa taun, kalaupun ada susahnya paling berapa lama. Tapi di surga dia abadi. Susah sesaat, senangnya abadi. Susah kalkulator pun ngitungnya.

Dan orang jahat. Yang di dunia tidak mempercayainya. Mempermainkannya, bahkan menghujatnya. Menyimpulkan hanya berdasar logika dan akal semata, yang dasar logikanya juga semaunya, yang mikirnya juga gak karuan karena seringngnya mabuk dan berdusta

Ternyata saat dibangunkan. Langsung berhadapan dengan kenyataan. Bahwa tak ada lagi waktu untuk tobat, tak ada lagi tempat berlindung, tak ada lagi ruang untuk berlari. Yang ada, di depan mata api neraka terus menggelora, abadi, selamanya. Bayangkan, semenyesal apa dia nanti?

(Visited 120 times, 1 visits today)
Asep Ma'mun Muhaemin

Asep Ma'mun Muhaemin

Saya membuat situs jurnalismewarga.net ini dengan 1 visi 1 misi : Persatuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *