Negara Besar Kewalahan, bagaimana Kita?
Akhirnya Amerika juara 1 lagi. Tapi kini bukan jumlah anggaran pertahanannya. Bukan kapasitas ekonominya. Bukan jumlah orang terkayanya di dunia. Tapi jumlah kasus penderita Corona. Mereka melampaui Tiongkok dalam hal jumlah kasus. Sedangkan jumlah dari sisi jumlah meninggal, Italia beberapa hari lalu sudah melewati Tiongkok.
Dengan negara yang sebesar Amerika. Dengan tingkat pendidikan yang sedemikian tingginya. Anggaran pun demikian besarnya. Orang-orang pintar pun puluhan tahun belakangan ini muncul banyak dari sana. Dengan pengakuan mereka sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Ternyata kecolongan juga oleh wabah ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah. Bagaimana dengan kita. Yang anggaran kesehatan tak sebesar negara-negara maju itu. Kesadaran penduduk pun relatif lebih rendah akan bahaya wabah ini.
Cukup dimengerti kenapa pemerintah tidak segera mengenakan lockdown di negeri kita. Tentu itu seperti buah simalakama. Jika yang dilakukan benar adalah lockdown. Tidak perlu semua wilayah, cukup 1 saja, DKI. Maka sudah bisa dibayangkan seberapa menurun tingkat ekonomi kita.
Pun jika dilakukan lockdown, berapa anggaran yang harus dikeluarkan. Sebab mayoritas warga DKI berada pada golongan tidak siap menghadapi itu. Yang penghasilannya harian. Yang jika tidak bekerja hari ini tidak bisa makan. Mampukah pemerintah mendata mereka? Sehingga jika dilakukan lockdown – – artinya tidak boleh keluar rumah. Bagaimana kebutuhan pokok bisa sampai ke tangan mereka? Jika kebutuhan makan saja tidak tercukupi? Artinya kelaparan akan melanda di mana-mana.
Tapi jika tidak dilakukan lockdown, apakah kita mau terjadi seperti Amerika? Yang penambahan kasus Corona bertambah demikian cepatnya?. Ditambah budaya kita yang sulit lepas dari sosialisasi. Sudah diterapkan imbauan socail distancing, sekolah pun diliburkan, perkantoran pun demikian juga. Bahkan aktifitas Ibadah seperti di mesjid, di mana shalat Jumat yang tak ada bayangan ditunda walau sementara – – dan diganti shalat Dzuhur. Apalagi untuk shalat 5 waktu sehari-hari. Tapi nyatanya kumpul-kumpul masih banyak. Yang menurut banyak, yang tidak pun demikian juga. Shalat pun masih banyak yang tidak di rumah.
Dengan kondisi seperti itu, adakah solusi yang bisa memaksimalkan hasil positif dibanding negatifnya?
Sepertinya jawaban sebenarnya ada pada kita. Maukah kita sadar sendiri untuk menerapkan jaga jarak dengan orang lain? Memakai masker jika kemana pun – – jika pergi itu memang suatu keharusan. Maukah kita sering-sering cuci tangan jika sampai rumah selesai bepergian?
Karena itulah cara yang tepat hasil analisa para ahli selama ini.
Jika kita pun tidak peduli, lantas kepada siapa harapan itu kita sandarkan?