Rumit dibalik Kelapangan
Itulah hakikat perjuangan. Pencapaian akan terasa sangat berharga. Jika proses dalam mencapainya demikian berliku. Menguras kesabaran, membedah kebijaksanaan dan mengoptimalkan kekuatan.
Kelegaan baru akan terasa. Saat kesempitan baru saja terlewati. Ibarat jalan tol akan terasa nikmatnya. Saat kemacetan di jalan biasa sudah terlewati.
Bagaimana kalau perjalanan sepanjang jalan tol terus? Awal perjalanan mungkin enak. Namun kalau jarak sudah pada titik jenuh. Lama-lama ngantuk datang, kalau tak ada aktifitas lain (mengobrol misalnya, atau melewati pintu tol, atau belokan) bisa-bisa tidur benaran.
Contoh lain juga bisa. Saat kendaraan menanjak, atau jalan kaki pun sama saja. Saat sudah sampai di jalan datar begitu nikmatnya. Rasanya energi yang terkuras terlupakan begitu saja.
Kita berpuasa pun demikian. Lapar dan dahaga seharian begitu menantang. Apalagi di tengah terik matahari di depan mata ada es sirup dalam kulkas. Saat berbuka demikian gembira, sesuatu yang ditunggu datang jua.
Lantas bagaimana kehidupan yang kita lihat saat ini? Apakah terlihat ada yang berjuang kemudian di ujung hasilnya kelihatan? Saat ini sepertinya hal seperti itu tak jadi kepastian. Ada banyak orang sengsara secara materi, dari awal hidup sampai meninggal tak ada perubahan berarti. Walaupun perjuangan memperbaiki nasib tetap dilakukan.
Ada sebentuk pengharapan yang kadang disampaikan para agamawan. Nanti bisa terganti di alam akhirat. Namun itu pun ada syarat. Jika kesesengsaraan itu, kita di dunia dihadapi dengan kesabaran dan ketawakalan. Bagaimana jika sudah sengsara, hati pun tak menerima?
Seandainya saja semua manusia bisa merencanakan hidup secara bersama-sama. Dalam keseteraan dan saling memberi kebahagiaan. Dalam satu sistem kesadaran. Mungkin cerita di atas akan bisa kita rencanakan akhirnya