13/02/2025
Diary

Kepantasan Pengakuan

Spread the love

Kurang tepat menyebarkan keunggulan sendiri, dengan menyerang keunggulan yang lain dengan sebutan “impor”.

Impor itu diistilahkan sebagai sesuatu yang datang dari luar. Dalam hal ini luar negeri. Karena berbagai negara belum menyatu dalam satu sistem dunia bumi. Kalau sudah menyatu, kan selayaknya istilah impor itu tak ada lagi.

Kalau istilah itu digunakan untuk memberi kesan negatif, maka kamu akan “terkesan” memecah negaramu. Karena ilustrasinya, negeri ini pun dibentuk dari berbagai suku bangsa.

Apa kamu mau menyebut suku bangsa yang satu menjajah suku bangsa yang lain? Karena ia berdiam diri dan mengeruk kekayaan di tanah suku bangsa yang lain.

Tentu tidak bukan? Karena semua sumber daya yang sudah menyatu dalam satu negara ini. Diolah serta dimanfaatkan oleh dan untuk semua penghuninya.

Dengan harapan dibagikan dan dirasakan secara adil pula. Kalau terlihat belum adil, ya itu yang harus kita perbaiki.

Saat kamu mengajak penghuni negeri ini, untuk menolak sesuatu yang datangnya dari luar. Dengan menggunakan stereotip barang impor. Dengan sebuah kesan untuk agar terlihat negatif. Itu tidak bisa menghilangkan kebenaran yang ada. Itu hanya “cara keras” untuk mengunggulkan hasil dari negeri sendiri.

Terkecuali tentunya kebijakan negara untuk melindungi produk dalam negeri. Yang benar-benar barang dagangan fisik. Misalnya pakaian hasil produk konveksi dalam negeri yang harus dilindungi. Yang terancam gulung tikar karena serbuan dari luar yang dibuat “lebih murah”.

Dalam hal ini. Sesuatu yang bermanfaat. Dan kita pun tidak dirugikan, justru malah menguntungkan. Tentu kita harus berada di garis terdepan untuk mendukungnya. Apalagi kalau itu akan membuat neraca perdagangan kita surplus. Tidak defisit.

Termasuk di dalamnya pertukaran ilmu pengetahuan. Atau barang-barang berteknologi tinggi yang belum bisa kita buat. Tukar menukar komoditas seperti itu tak bisa dihindari. Sesuatu yang ada di kita tak ada di luar. Atau ada di luar tak ada di kita.

Jangan terlalu memandang diri tinggi dan merendahkan yang lain. Jangan pula sebaliknya. Kehidupan di dunia ini Tuhan ciptakan dari “semua” unsur pembentuknya.

Dalam bahasan kali ini. Istilah impor tentu tidak pada tempatnya disematkan pada sesuatu yang berbau spiritual. Apalagi jika itu dimaksudkan untuk memberikan kesan negatif. Bukankah Tuhan bisa memunculkan kebenaran di mana saja?

Lebih jauh, tak elok rasanya jika “sebutan impor” itu diterapkan pada sebuah keyakinan. Yang sudah mendarah daging ratusan tahun, turun temurun antar generasi. Bercampur dan berakulturasi dengan budaya yang ada.

Bahkan bisa jadi ada yang sama secara hakikat dengan keyakinanmu. Walau banyak di antaranya yang beda bahasa dan istilah saja. Untuk merujuk pada esensi yang sama.

Dan tanpa sadar, “cara” itu membuat orang lain mempertanyakan bagaimana kamu “berkenalan” dengan Tuhan. Dan cara bagaimana Tuhan mengajarkan sesuatu pada manusia? Yang “umumnya” dialami secara bertahap.

Bahkan kamu tentunya tahu juga. Ada yang awalnya kebenaran sudah disampaikan Tuhan, yang diselewengkan manusia. Dan kemudian Tuhan perbaiki lagi melalui utusanNYA. Atau bahkan menyempurnakannya.

Kalau mau menggugat sebuah kebenaran, yang kamu tidak setujui. Gugatlah itu engan kebenaran versimu. Itu pun jika kebenaran versimu itu, diyakini betul bisa mengungguli kebenaran orang lain.

Itu pun harus dengan cara yang benar. Duduk bersama. Dinginkan kepala. Terampil mendengar dan memahami. Endapkan emosi. Sampaikan dengan penuh hikmah.

Karena sesungguhnya keyakinan itu “biasanya” sudah terpatri dalam diri masing-masing. Bahkan jika “kebenaran” yang tidak terbantahkan pun datang. Dan mampu menunjukkan “kekurang benaran” dari keyakinan lain.

Ia yang terbukti “kurang benar” pun takkan serta merta mau mengakui “kebenaran mutlak” itu. Karena itu tadi, sesuatu yang dipelajari dan diterapkan sedari kecil, akan sulit dihapus dari kesadaran.

Maka berebut kebenaran itu seringnya berujung keributan, permusuhan, peperangan. Kalau sudah tahu begitu, jangan kamu ulangi lagi membentur-benturkan antar keyakinan. Sesuatu yang sudah disatukan dalam toleransi dan konsensus bersama. Jangan kamu acak-acak dan cerai beraikan lagi.

Yakinilah, peganglah erat-erat keyakinanmu. Jika itu memang benar, dan kamu anggap tak terbantahkan lagi.

Tapi jangan kamu rendahkan keyakinan orang lain. Karena tentu kamu pun, takkan mau keyakinan sendiri direndahkan orang lain.

Atau kamu bisa melihat dengan caraku memandang. Otak itu terlihat beda dengan mata. Tangan/kaki kiri berbeda tempat dengan yang kanan. Jantung itu bekerja di dalam, sedangkan kulit menjaga di luar. Dan anggota tubuh lainnya tentu akan terlihat berbeda. Tapi ia “benar” dalam peran dan fungsinya masing-masing.

(Visited 50 times, 1 visits today)
Asep Ma'mun Muhaemin

Asep Ma'mun Muhaemin

Saya membuat situs jurnalismewarga.net ini dengan 1 visi 1 misi : Persatuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *