Nikmat Kebiasaan
Kita makan bakso itu nikmat. Kalau tidak mau dikatakan enak banget. Tentunya bagi yang suka. Yang tidak tentu pendapatnya beda.
Di negara kita hampir dipastikan semua mengenal bakso. Semua rakyatnya. Walaupun ada yang suka, setengah suka, atau tidak suka. Bagaimana orang luar negeri yang tidak tahu bakso?
Atau di luar negeri ada bakso. Tapi yang dibumbui, serta dikuahi di atas gerobak khas, rasa-rasanya hanya ada di kita.
Beda pula dengan rasa bakso yang dibuat untuk sayuran. Walau kadang ada juga bakso gerobak dan untuk sayuran jenisnya sama. Tapi dengan bumbu yang beda, cita rasanya pun tentu juga berbeda.
Apakah kita berhak mengatakan bakso makanan paling enak di dunia? Atau siomay, atau gado-gado, atau rendang? Ya bagi kita yang sudah kenal rasanya, bisa dimaklumi mengatakan begitu.
Tapi orang penduduk asli Italia. Yang bahkan bentuknya saja tak tahu. Mana bisa mereka kita paksa untuk mengakui kalau makanan kita paling enak di dunia. Kalau kita menyebutkan pizza, ya mereka wajar kalau menyetujuinya.
Dalam bentuk fisik saja, kita sudah tahu tiap orang kesukaannya beda. Di antara penduduk Indonesia saja bisa beda. Bahkan dalam satu aggota keluarga bisa beda.
Lantas, bagaimana yang terkait spirit, kebatinan. Bisakah kita memaksakan keyakinan sendiri untuk diakui sebagai yang paling benar? Bagi diri sendiri tentu wajar bahkan wajib meyakininya. Tapi bagi mereka yang bahkan tidak mengetahui isi terdalam keyakinan itu?
Termasuk hal yang gaib. Yang tidak bisa dijangkau panca indera orang pada umumnya. Bisa saja kita berdiskusi ini itu. Namun akan jomplang sekali rasanya. Saat diskusi dilakukan antara orang yang tahu, dengan setengah tahu, atau yang tidak tahu.
Apalagi kalau yang tidak tahunya merasa sok tahu. Hanya karena keinginan untuk dianggap tahu. Atau tidak mau diremehkan, walau itu sebuah kenyataan.
Sangat aneh rasanya kalau itu jadi bahan pertengkaran. Bahkan pertumpahan darah. Sebenarnya hal itu terjadi karena membela keyakinan? menyembunyikan kelemahan diri? atau karena uang? Atau sekedar ikut-ikutan?
Sulitnya memaksakan pengakuan seperti itu. Mungkin sama sulitnya memaksa mata jadi kaki. Hidung jadi rambut. Jantung jadi telinga. Usus jadi otak.
Namun alangkah indah dan harmonisnya saat semua itu berada pada tempat dan fungsinya.
Maukah kita jadikan anak kuliah lulusan ekonomi menjadi ahli ekonomi? Anak pesantren ahli agama? Atau yang lainnya?
Bukan seperti banyak terjadi sekarang. Kuliah apa kerjanya apa? Hanya karena terdesak masalah pekerjaan. Untuk mendapatkan uang.
Betapa efektif dan efisien. Saat Surga Dunia itu terwujud. Hati tiap insan “benar-benar” sudah jadi “singgasana” Tuhan. Dengan “lillaah”nya. Tak ada yang rebutan harta, tahta, bahkan cinta.
Yang ada, hanya keinginan berbagi kebahagiaan dengan sesama.